-->

Cerpen Persahabatan "Indahnya Persahabatan"

Title: Indahnya Persahabatan
Tema: Persahabatan
Kiriman: Maul Sobur
Referensi: cerpenbymaulsobur

Indahnya Persahabatan

Pagi telah datang. Sinar matahari mulai nampak. Cahayanya terasa hangat. Burung-burung menyambutnya riang. Bernyanyi sambil menari dan melompat dari dahan ke dahan. Aku sendiri telah mandi. Dan sudah siap pergi. Seragam putih merah telah melekat rapi  di badanku. Sebentar lagi aku berangkat ke sekolah.

Sesampai di sekolah aku melihat semua ruangan masih  tertutup. Rupanya teman-teman yang  datang duluan enggan membukanya. Aku segera membuka semua pintu dan jendela yang ada. Aku berharap  sinar matahari dapat masuk dengan leluasa.

Kemudian tas kusimpan di laci meja. Aku terus keluar mendapati teman-teman. Tapi mereka tidak ada. Mungkin sedang jajan.  Dalam sendiri aku menatap aneka bunga di taman. Melati, mawar, kenanga dan anggrek nampak berseri-seri. Indah sekali.

Kupetik sekuntum melati yang sedang mekar. Kuselipkan di antara rambutku yang terurai. Melati itu terjatuh. Kuambil kembali dan kuselipkan di antara telinga.  “Wow, alangkah cantiknya aku,” pujiku dalam hati ketika kubercermin di kaca pintu.

Satu-satu temanku mulai datang. Kemudian kami berkumpul berbincang-bincang. Lalu datang Resti dan Siska. Mereka saling menyiku sambil melirik padaku.

“Selamat pagi,” sapaku dengan senyum.

Tapi mereka malah tertawa dan pergi meninggalkan kami. Dalam hati aku kesal melihat tingkahnya yang begitu. Tapi aku tak dapat berbuat apa-apa. Karena lonceng tanda masuk telah dibunyikan. Kami semua bergegas masuk kelas.

Hari ini ulangan IPA. Aku duduk dengan perasaan tenang. Malamnya aku telah menghapal dengan tekun karena aku tahu ini ulangan lisan. Alhamdulillah, hasilnya kentara. Hampir semua pertanyaan yang dilontarkan guru aku jawab dengan benar.

Ketika jam istirahat  teman-temanku ribut di belakang. Kudekati mereka untuk ikut mengobrol. Tapi sebagian dari mereka ada yang mencibir dan  mendehem. Terkesan mengejek. Hanya satu yang memujiku. Santi namanya.

“Hebat kau Aya. Kau pintar sekali. Aku ingin seperti kau!” pujinya tanpa aling-aling.

Baru saja aku tersenyum dan mau menjawab, tiba-tiba Resti berkata.”Buat apa pintar  kalau sombong.” Ia mencibir kusam.

Aku memandangnya dengan perasaan terluka. Bersama teman-teman lainnya lalu kompak tertawa. Segera aku menghindar saja.

Jam terakhir ini pelajaran bahasa Inggris. Gurunya sudah datang. Bu Erni adalah guru yang tegas dan disiplin. Ia selalu ingin murid-muridnya memperhatikan dengan baik saat ia sedang menerangkan pelajaran. Tak berapa lama  ia lalu menelorkan pertanyaan-pertanyaan.

“The opposite of happy is……?” tanyanya.

“Sad,” jawabku. Aku bisa menjawab pertanyaan pertama.

Terdengar ada yang mendehem di belakangku. Aku lantas diam. Pertanyaan ketiga aku menjawab lagi. Terdengar ada yang tertawa cekikikan.

Bu Erni bertanya, “ Resti, apa yang lucu? Kenapa tertawa – tawa?” protes bu guru dengan suara lantang.

Resti tertunduk.

“Ayo kamu ke depan  dan tulislah sebuah karangan pendek tentang sekolahmu dalam  bahasa Inggris!” perintah bu Erni.

Dengan ragu-ragu Resti ke depan. Ia memegang kapur tetapi hanya berdiri mematung di depan.

“Ayo mulai, mengapa diam,” hardik bu Erni.

“Tidak bisa, Bu,” jawab Resti  sambil menunduk, malu dan takut.

“Makanya kalau tidak bisa, belajar. Jangan mengobrol saja!” marahnya.

“Ayo duduk!” perintahnya lagi.

“Sekarang siapa yang bisa, ayo ke depan!”

Aku berdiri dan menulis tentang sekolahku dalam bahasa Inggris. Bu Erni nampak puas. Katanya karanganku bagus.

Lain waktu Resti mengobrol lagi ketika pelajaran bahasa Inggris berlangsung. Dan itu membuat bu Erni kesal. Ia mendapat peer spesial : menulis sebuah karangan tentang rumahnya. Kalau peernya tidak dikerjakan, ia tak boleh masuk kelas.

Pagi itu di bawah pohon nangka Resti nampak menunggu seseorang. Ketika melihatku, ia nampak senang.

“Tsuraya!” panggilnya.

“Ya Resti, ada apa?” tanyaku.

“Bisa ke sini sebentar,” pintanya.

Dengan hati sedikit deg-degan aku mendekatinya.

“Aya, aku minta maaf ya. Selama ini aku selalu meledek dan menghinamu. Itu karena aku sangat iri padamu. Kamu cantik, baik, pintar lagi. Semenjak kedatanganmu ke sini perhatian teman-teman dan guru-guru  semua beralih padamu. Sekarang aku sadar, kamu tak pantas aku musuhi. Karena jujur, aku membutuhkanmu,” suaranya agak menghiba.

“Resti percayalah, aku sudah memaafkanmu. Jadi sekarang kita berteman baik kan?” Ada perasaan lega di dadaku.

Tapi Resti masih kelihatan merenggut.

“Terimakasih, kamu baik sekali. Tapi aku membutuhkan pertolonganmu,” kelunya sambil menunduk.

“Apa yang bisa kubantu untukmu Resti,” kataku bersungguh – sungguh.

Resti menengadahkan kepalanya.

“Aku belum menyelesaikan peer bahasa Inggrisku. Aku tidak bisa. Dan Siska sahabatku juga tak dapat membantuku. Kalau aku tak mengerjakan peerku. Aku tak boleh masuk kelas selama pelajaran bu Erni,” lirihnya.

Aku tersenyum.

“Apa yang bu Erni tugaskan padamu?” selidikku.

Resti menunjukkan buku tugasnya. Aku lalu membacakan sebuah cerita pendek. Resti menyalinnya sambil sesekali kubantu cara menulisnya. Selesai  mengerjakan itu bel tanda masuk berbunyi.

Buru-buru kami masuk kelas. Di kelas aku menjawab lagi beberapa pertanyaan yang dilontarkan Bu Erni. Tapi sekarang tak ada suara dehem lagi, tak ada suara ribut lagi.

Pulang sekolah Resti dan Siska mendekati.

“Aya, Aya  sebentar! Maukah kau siang ini ke rumahku untuk rujakan sambil mengerjakan peer bersama – sama?” ajak Resti.

Aku tersenyum.

“Kenapa tidak, kalian kan teman – teman baikku,” jawabku mantap.

Semenjak itu kami menjadi trio sahabat. Resti dan Siska selain menjadi teman belajarku juga menjadi teman mainku. Senangnya, karena semenjak tinggal di kampung ini aku tidak mempunyai teman main seorang pun.

Sekarang  bersama Resti dan Siska aku bisa ikut menikmati indahnya memetik kacang panjang, mandi di sungai yang airnya jernih bahkan menjelajah bukit-bukit kecil sambil mencari jamur. Senangnya mendapatkan pengalaman baru yang tidak pernah kudapatkan di kotaku dulu.

:)

:(

=(

^_^

:D

=D

|o|

@@,

;)

:-bd

:-d

:p

Post a Comment